Text Widget

Sample Text

Remidi 2 Materi Bilangan

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

BTemplates.com

Pages

Blogroll

About

Thursday, 2 January 2014

Tips Sukses UN


Andaikan seminggu lagi kita menginginkan memetik buah dan berkeinginan makan buah tersebut, kemudian setelah seminggu, sangat disayangkan manakala buah yang kita makan belum matang sehingga kualitas rasanya tidak enak. Bahkan sebaliknya, matang memang buah tersebut, tapi dari segi bentuk warna sudah tidak menarik lagi, karena ada sebagian anggota buah tersebut terlihat busuk, ini artinya buah tersebut terlalu matang. Nah, inilah yang dikhawatirkan terjadi pada siswa kita. Sebuah contoh misalnya, pada saat  minggu – minggu sebelum unas, siswa sibuk mencari les privat, belajar semalam suntuk, semua buku ludes dikerjakan, namun sayang hasil unas biasa – biasa saja, ini ibarat buah yang belum matang. Sebaliknya ,pada saat – saat try out, namanya selalu di papan atas, bahkan selalu merajai nilainya di semua lini mapel, namun begitu ujian sesungguhnya, justru nilainya tidak semenonjol seperti yang diharapkan. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah yang salah ? Atau dimanakah letak kesalahannya ? Tentu saja hal ini disebabkan bahwa siswa menganggap apa yang sudah diperolehnya di try out sudah dianggap matang. Begitu juga kasus – kasus belajar sistem semalam suntuk layaknya makan buah karbitan, maka hasilnya pun tidak seenak buah matang di pohon.
Fenomena – fenomena di atas pernah dialami oleh bapak /ibu guru yang mengampu mapel unas atau para tentor di bimbingan belajar. Lalu apakah kejadian – kejadian tersebut akan dibiarkan berulang begitu saja ? Tidak sukakah kita manakala melihat siswa dari try out awal ke try out – try out selanjutnya terjadi peningkatan, kemudian saat Unas laksana “bom waktu” hasilnya meletup luar biasa dengan nilai yang di luar prediksi gurunya ? Ya, tentu semua di antara kita akan suka.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana strategi mematangkan siswa, sehingga hasil unas sangat membanggakan. Hasil unas di sini tidaklah berarti harus mendapat nilai tinggi untuk 1 kelas, atau 1 sekolahan, tapi cukuplah bahwa nilai yang dicapai haruslah sesuai kemampuan dan lebih penting adalah di atas prediksi.
Setidaknya ada 2 jenis kelompok siswa di sini, yang pertama adalah siswa yang biasa berada di peringkat atas, yang kedua adalah siswa yang dengan kemampuan rata – rata tapi menjadi matang  pada saaatnya. Strategi untuk jenis pertama adalah : pertama, tanamkan bahwa jangan terlalu puas terhadap hasil yang dipeoleh. Kedua , guru memperluas SKL (Standar Kompetensi Lulusan) dengan melatih materi – materi yang cukup menantang dan sulit. Hal ini agar siswa tidak bosan terhadap materi dan soal yang sudah biasa dilatihkan. Ketiga, latih siswa membuat soal yang sesuai kisi – kisi. Keempat, perluas penguasaan jawaban siswa dengan berbagai cara. Misal 1 soal matematika dapat dikerjakan dengan minimal 3 cara. Kelima, berlatih penguasaan soal – soal penalaran dan olimpiade yang sesuai SKL, karena hal ini akan membuat siswa lebih termotivasi dan tidak kaget manakala siswa menjumpai soal yang diluar perkiraan.
Jenis kelompok kedua dapat dilakukan dengan strategi : pertama, mencatat rangkuman dan soal yang dirasa sulit, kemudian diulang – ulang. Kedua, memaksimalkan mapel yang dapat menopang nilai mapel yang kurang. Misal, jika siswa kurang nilainya di mapel matematika dan merasa sudah tidak mampu lagi menambah penguasaan SKL nya maka dia harus memaksimalkan nilai mapel lain yang dikuasai. Ketiga, mencukupkan dengan mapel yang telah dikuasai dan memfokuskan mapel yang kurang dikuasai. Misal, jika siswa di mapel matematika sudah cukup kuat sementara di mapel IPA masih kurang, maka ia harus memfokuskan di mapel IPA dengan belajar. Keempat, mengoptimalkan tutor sebaya. Kelima, menanamkan kebiasan bertanya kepada guru atau kepada teman yang pandai.

Demikian setidaknya beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bagi siswa, guru, dan orangtua dengan harapan siswa yang sudah matang akan menjadi lebih matang pada saatnya. 

Memperhatikan Kekontinuan Les


Ketika kita naik gunung, lebih disukai tanjakan yang landai meski jauh daripada tanjakan yang curam. Sehingga jalan pegunungan dibuat berkelok – kelok meski lama. Ini menunjukkan prinsip bidang miring yang berlaku di dalam kehidupan sehari – hari. Layaknya belajar, siswa sebaiknya belajar sedikit demi sedikit secara kontinu daripada belajar dengan sistem kebut semalam. Ataupun dalam pembelajaran les, kita tentu lebih menyukai siswa yang belajar lebih lama dari pada membelajari siswa yang hanya butuh dadakan, misal dia minta les karena esok pagi ada ujian Mid, dll.
Hal di atas adalah salah satu bentuk kekontinuan dari sisi lama les dalam kurun waktu misal 1 tahun. Bentuk kekontinuan yang lain adalah ketika siswa sudah selesai les di kelas 6 SD, maka diharapkan di kelas 7 ia akan les di tempat kita. Begitu seterusnya hingga ia menamatkan di jenjang SMA. Saya punya pengalaman siswa les yang sudah bertahan hingga 8 tahun. Ia mulai les dengan saya sejak kelas 4 dan berlangsung terus hingga – saat ini – duduk di kelas XI, dan kemungkinan akan berlanjut hingga ia sampai kelas XII.
Bentuk kekontinuan lainnya adalah jika dalam 1 keluarga ada 4 anak, maka saya memberikan les anak pertama, dilanjut anak kedua, anak ketiga, hingga anak ke empat. Ini sudah banyak keluarga yang saya les seperti itu, yaitu semua anaknya saya les. Bahkan ada 1 keluarga yang sudah saya les , sampai saat ini 8 tahun, dan saya perkirakan, insya Allah, bisa bertahan hingga 12 tahun. Karena anaknya  yang keempat sekarang masih duduk di kelas 8.
Lalu apa resepnya siswa tersebut bertahan hingga 9 tahun les. Resepnya sebagai berikut :
a.       Kedekatan saya dengan orangtua.
Orangtuanya sudah mempercayakan kepada saya untuk membimbing les, akibatnya hasil baik atau buruk pun tidak mempedulikan. Kepercayaan ini, Alhamdulillah, melekat seiring dengan berjalannya waktu. Orangtuanya yakin bahwa saya akan memberikan yang terbaik tanpa keraguan.
b.      Hasil awal memuaskan
Kesan hasil tahun pertama siswa yang saya les ternyata berbuah manis, seiring dengan proses yang terus menerus ada perbaikan. Siswa yang saya les merespon positif, sehingga orangtua pun senang, dan ini berlanjut terus sampai sekarang.
c.       No Target
Ternyata siswa yang kontinu saya les, orangtua tidak pernah menargetkan dengan sejumlah nilai tertentu. Prinsipnya yang penting les. Mereka yakin, dengan izin Allah, bahwa saya akan memberikan yang terbaik.
d.      Membayar les tanpa perhitungan
Resep ini yang nampaknya terasa sekali di hati saya, manakala ketika waktu pembayaran tiba, mereka bersegera untuk membayar, tanpa dihitung – hitung. Artinya, ketika saya sebulan yang harusnya datang 4 x, karena suatu hal saya datang sekali, ternyata mereka tetap membayar  4x penuh tanpa mengeluh.
                Namun ada hal yang diperhatikan bahwa tidak selamanya siswa yang meminta les kontinu kita layani, tanpa memperhatikan faktor – faktor yang lain. Ambil contoh, Si A les kelas 6, tiba – tiba hasilnya UN bagus, dan ia meminta kelas 7 dilanjutkan, lalu apakah kita kabulkan ? Pada kasus tersebut banyak siswa yang saya tolak. Oleh karenanya, sebaiknya, kita memperhatikan hal – hal sebagi berikut :
a.       Tingkat kejenuhan
Selama ini, saya sangat memperhatikan kejenuhan siswa dalam les. Jika di kelas 6, misalnya, siswa sudah terlihat jenuh dalam les. Maka di kelas 7, yang tidak ada tantangan untuk berprestasi, maka akan cenderung tidak bisa bertahan. Hal ini beberapa kali saya jumpai. Ada siswa yang memaksa untuk tetap les, eh, ternyata tidak bisa bertahan lama.
b.      Kegiatan sekolah
Ini juga faktor yang perlu kita perhatikan. Misalnya, siswa yang kelas 9 kita les, kemudian dia ingin les lagi di kelas 10, kita harus memperhatikan bahwa di kelas 10 banyak ekstra atau kegiatan sekolah, maka selayaknya kita memperhatikan hal tersebut. Jangan sampai ketika ia di kelas 10 pengin les, kemudian kita layani, ternyata pas jadwal les, ia ijin karena banyak kegiatan ekstra.
c.       Ekonomi orangtua
Perlu diperhatikan juga bahwa tidak semua orangtua siswa memiliki ekonomi yang berkecukupan. Ada kalanya ekonominya pas – pasan dan les sebenarnya perkara yang berat dari sisi biaya. Misal si A baru lulus kelas 6, dengan kondisi ekonomi orangtua pas – pasan, kemudian dia di kelas 7 pengin les lagi, maka saya cenderung menolak. Saya menyarankan untuk les lagi besok kalau sudah kelas 9 dengan alasan agar siswa tersebut tidak bosan. Perlu dipahami bahwa permintaan siswa yang pengin kontinu les, kebanyakan hanyalah efek spontanitas dari hasil UN yang bagus. Jadi bukan karena ingin mengembangkan potensinya yang lebih bagus.

                Jadi kesimpulannya tidak semua siswa yang minta kontinu les kita terima, tapi hendaknya kita memilih dengan memperhatikan hal – hal di atas. Sebaliknya, tidak mengapa kita menawarkan siswa yang kita les agar kontinu belajar lesnya bila kita memandang siswa yang bersangkutan tidak mampu belajar mandiri di kelas atasnya. 

Alokasi Waktu Les


Di pasaran les, kita menjumpai waktu les berkisar antara 1 jam hingga 2 jam, amat sangat sedikit waktu les sekali pertemuan untuk 1 mapel hingga lebih dari 2 jam, karena siswa akan capai dan bosan. Kebanyakan waktu les adalah 1,5 jam baru disusul 1 jam. Namun saya peribadi menyukai les waktunya adalah 75 menit. Dengan les 75 menit, sebenarnya efektif hanya 1 jam, yang 15 menit bisa digunakan untuk mempersiapkan kondisi siswa les, memberi motivasi, dan persiapan menuju les selanjutnya. Jika waktu les 1 jam saja, kita akan cenderung terburu – buru di jalan dan adakalanya siswa pun belum siap les jadi hasil kurang maksimal. Waktu 2 jam pun sebenarnya terlalu boros dan berharga buat pengajar les. Jika les dalam waktu 2 jam, maka sehari kita hanya akan mendapatkan alokasi waktu les sehari hanya 2 kali atau kadang sekali saja.
Berikut ini saya jadwalkan waktunya les, dengan catatan alokasi waktu ini tidak harus di atur seperti ini :
1.       Jadwal pertama jam 15.30 – 16.15
2.       Jadwal kedua jam 16.15 – 18.00
Ingat bahwa pilih jadwal pertama dan kedua selisih tempat tidak jauh

3.       Jadwal ketiga jam 18.30 – 20.00 (dengan perkiraan solat isya’ di masjid 15 menit)

Prioritas Les


Kalau kita ditanya, berdasarkan kemampuan akademik siswa, siswa dapat kita bagi ke dalam tiga bagian : kemampuan akademik tinggi, sedang, dan rendah, manakah yang harus diproritaskan untuk les ?
Siswa yang memiliki kemampuan akademik tinggi tentu saja ia sudah rangking di kelasnya, pelajaran di sekolah ia mampu menangkap materi dengan sangat baik, pembelajaran diikuti dengan selancar mungkin, minat dan motivasi belajar di sekolah  sudah tidak diragukan, PR dan tugas mampu ia selesaikan sebelum waktunya, bahkan ia mampu belajar mandiri. Ulangan harian pun selalu di atas KKM.
Siswa yang memiliki kemampuan akademik sedang, bisa dibilang siswa tersebut kemampuan pas – pasan, ia bisa mengikuti materi pelajaran hanya di awal – awal bab saja, PR dan tugas terkadang dikerjakan seandainya mengerjakan hanyalah copy paste temannya, belajar hanya seperlunya, ulangan harian pun terkadang saja yang lulus KKM. Jika dilihat rangking dari 32 siswa, ia mendapat rangking 8 – 24, atau sekitar itu.
Sebaliknya, siswa yang memiliki kemampuan akademik rendah, rangkingnya sering menjadi juru kunci. Minat dan motivasi belajar rendah, bahkan nyaris lenyap. Sekolah hanyalah sekadar absen, kehadiran di kelas laksana patung. Ketika guru pelajaran menyampaikan materi, siswa tersebut tidak mengerti apa yang dibicarakan gurunya. Jasad siswa di kelas, tapi pikirannya di luar kelas melanglang buana. Tugas sering lupa, seandainya mengerjakan tentu saja copy paste temannya tanpa mengetahui asal – usul jawaban tugas tersebut.
Dari ketiga kondisi siswa di atas, sekali lagi manakah yang harus mendapat prioritas les ? Hampir semua sepakat bahwa siswa yang memiliki kemampuan akademik rendah diprioritaskan lesnya, alasannya adalah siswa tersebut supaya mampu mengikuti pelajaran di kelasnya dengan baik. Baru di susul akademik sedang, dan yang terakhir akademik tinggi. Menurut kebanyakan masyarajat bahwa kemampuan akademik tinggi tidak les tidak mengapa karena sudah mampu belajar mandiri, jadi di les pun seakan tidak ada perubahan.
Namun, di sini saya berpendapat lain. Sebenarnya pada prinsipnya bahwa kemampuan siswa akademik apapun butuh untuk les. Jadi tidak akan rugi, insya Allah, kalau mengikuti les. Mengapa ? Karena di les pasti akan mendapat pengalaman belajar yang lain. Kemudian soal prioritas, justru siswa yang kemampuan akademik tinggilah yang butuh les. Alasanya sederhana, bila kita punya materi ilmu yang bisa dibilang 100 %, dalam waktu yang relatif sama, kemudian kita berikan kepada tiga anak dengan kemampuan akademik berbeda, maka tentu siswa yang kemampuan akademik tinggi akan memndapatkan persentase yang lebih besar, bahkan bisa mampu 100 %. Padahal dari 100 % yang kita berikan, anak tersebut dapat mengembangkan bekal ilmu kita untuk mempelajari yang lebih sulit secara mandiri.
Selain itu, siswa yang memiliki kemampuan akademik tinggi akan merasa bahwa dia sudah pinter, tanpa mengetahui bahwa di sekolah lain ada yang lebih pintar, seperti pepatah di atas langit masih ada langit. Hal ini sering dijumpai, ketika siswa yang kemampuan akademik tinggi sudah rangking 1 sampai taraf tanpa belajar pun ia bisa dapat rangking 1, maka akan berakibat ia meremehkan pelajaran dan merasa pinter. Akhirnya prestasi akan stagnan.
Nah disinilah peran guru les untuk selalui berinovasi dalam mengajarkan materi les. Berikan sesuatu yang beda, berikan pengalaman belajar yang lain pada siswa yang kemampuan akademik tinggi, kalau perlu latihkan dengan soal – soal yang berbasis masalah atau soal olimpiade. Sesekali jadikan ia guru buat kita dengan melatih si anak untuk presentasi di hadapan kita, sehingga kita bisa mengetahui kemampuan dia yang sesungguhnya.
Selanjutnya adalah siswa yang memiliki kemampuan akademik sedang. Siswa ini diproritaskan kedua, karena dengan les ia diharapkan mampu mengikuti materi pelajaran secara keseluruhan dan tidak terpotong – potong.
Berbeda dengan kemampuan akademik rendah, mengajarkan mereka untuk bisa berkembang kemampuannya bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Kita butuh berjuang ekstra untuk itu, padahal waktu kita sangat terbatas dan pikiran kita tidak hanya memberikan les, tapi banyak tugas – tugas kemasyarakatan yang perlu kita jalani. Belum lagi jadwal les yang kita berikan ke anak sangat banyak.
Sayang sekali, dari orangtua justru memakasa dan mendorong les hanya untuk anak yang kemampuan akademik rendah, kemudian di susul anak yang akademik tinggi agar bisa bertahan juaranya. Sementara si anak yang kemampuan sedang dibiarkan, dengan anggapan si anak sudah bisa mengikuti pelajaran di sekolah. Bahkan ada orangtua yang menganggap jika anaknya pinter (akademik tinggi) tidak perlu dileskan, alasannya adalah hal ini asama saja anatara di sekolah dan di les. Dianggapnya tidak ada perubahan yang berarti, toh anaknya sudah pinter. Hal ini padahal sejatinya adalah salah, sebagaimana penjelasan di atas.
Perlu dipahami di sini bahwa, saya membedakan kedudukan kita sebagai pengajar les dengan seorang guru. Bila kita seorang guru, maka prioritas untuk les di sekolah adalah justru siswa yang kemampuan akademik rendah dengan tujuan supaya dapat mengikuti pembelajaran dengan baik, tingkah lakunya menjadi baik, minat jadi meningkat, dll yang berakibat waktu remidi menjadi seminimal mungkin.

Namun, di sini kita sebagai guru les, maka justru yang harus kita perhatikan lebih adalah anak yanhg memiliki kemampuan akademik tinggi.