Wednesday, 6 May 2020
Friday, 24 April 2020
Lebih Memilih Les Mahal
April 24, 2020 Guru Les Keluarga
Yang masih g habis pikir dipikirin saya adalah sebagian orang masih memilih les yang berbiaya mahal. Mereka menganggap bahwa les di bimbel atau les privat yang mahal akan menjamin sisi kualitas. Pendapat ini menurutku ada benarnya, meski tidak sepenuhnya benar.
Seorang kawan (pengajar les) menceritakan kalau tarif dia memberikan les adalah Rp150.000,00 (edisi Akhir tahun 2019) tiap 1,5 jam. Menurutku terlalu mahal. Namun karena yang les nota bene anak orang kaya, maka harga segitu masih lumayan murah bagi mereka.
Bimbel - bimbel yang besar pun tarifnya jor - jor an. Ada yang nyampai 10 juta pertahun, meski mereka memberikan diskon tertentu untuk guru, dll.
Orang - orang kaya - entahlah - lebih memilih harga yang mahal bisa karena harapan kualitas, bisa harapan ketenaran, atau gengsi semata.
Sah sah saja mereka memilih. Namun bukan berarti tarif murah, terus kualitas jelek. Ini yang perlu digaris bawahi.
Saya masih menjumpai kawan - kawan yang bekerja sebagai pengajar les tarifnya murah. Murah karena memang segment pasarnya adalah orang - orang menengah ke bawah.
Kalau saya sendiri, misal sebagai orang tua yang kaya, dan punya anak yang pintar, maka cenderung memilih les dengan berbiaya mahal. Selain puas, dampaknya akan semakin terasa. Yang ngeles merasa ada tanggungjawab.
Kalau Anda ?
Thursday, 27 June 2019
Zonasi PPDB Antara Harapan Dan Kenyataan.
June 27, 2019 Guru Les Keluarga
Pemerataan pendikan merupakan masalah makroskopis (Castelli, 2012) yang melibatkan seluruh stakeholder baik guru, siswa, orangtua siswa, dinas pendidikan setempat, masyarakat, maupun pemerintah. Pendidikan yang berkeadilan telah menjadi bagian penting dari berbagai diskusi yang terperinci, mendalam, dan menyeluruh. Di Indonesia misalnya, semuanya saling kait mengait mengingat tingkat geografis yang berpulau – pulau, aneka budaya, dan beragam kepentingan lainnya sehingga mencapai pemerataan pendidikan yang ideal tentu sulit, meski demikian perlu pengkajian yang mendalam aspek pemerataan ini dengan memaksimalkan potensi pendidikan yang berkeadilan.
Prinsip keadilan ini salah satunya adalah menerapkan
sistem zonasi dalam PPDB. Tahun
ajaran baru 2019/2020, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah
mengumumkan sistem yang digunakan untuk program Pendaftaran Peserta Didik Baru
(PPDB) 2019. Di antara aturan tersebut, sebagian sudah diterapkan sejak 2018.
Beberapa perubahan yang dipakai Kemendikbud untuk tahun ajaran ini tertuang
pada Permendikbud No.51/2018 tentang penerimaan peserta didik baru tahun ajaran
2019/2020. Melalui Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018, prinsip yang dikedepankan
dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) adalah nondiskriminatif, objektif,
transparan, akuntabel, dan berkeadilan untuk mendorong peningkatan akses
layanan pendidikan.
Sistem zonasi ini mempertimbangkan jarak rumah ke
sekolah yang didaftar. Sistem zonasi sebenarnya
penyempurnaan dari sistem rayonisasi yang sudah ada sejak era 1990an, begitu
juga sistem kuota dalam dan luar kota yang sudah diterapkan di berbagai kota
besar. Dengan demikian sistem zonasi ini bukanlah hal yang baru dalam dunia
pendidikan. Perlu diketahui bahwa sistem zonasi pada PPDB 2019/2020 ini
memiliki tujuan yaitu pemerataan pendidikan dengan menghapus label sekolah
unggulan atau favorit. Jika pendidikan yang merata ini tercapai, maka prinsip
yang berkeadilan dapat diwujudkan sehingga akan didapatkan kualitas pendidikan
dengan lebih baik.
Selain itu harapan pemerintah dengan adanya zonasi ini mempermudah pemerintah pusat dan daerah untuk
memetakan dan memberikan peningkatan akses pendidikan, baik terkait fasilitas
sekolah, metode pembelajaran, maupun kualitas dan distribusi guru, sehingga
dapat mempercepat pemerataan mutu pendidikan di seluruh daerah. Dengan kata lain, pemerataan dari input siswa
selanjutnya menuju pemerataan dari aspek yang lain.
Menariknya pembagian sistem zonasi ini diserahkan ke
Pemda masing – masing terkait
faktor geografis dan sebaran penduduk di wilayah tersebut. Apakah pembagian
zonasi ditentukan lewat jarak tempuh dari rumah ke sekolah, atau
diklasifikasikan per Kelurahan akan menjadi wewenang Pemda setempat.
Dengan zonasi, nilai ujian dan rapor siswa tidak lagi
menjadi prioritas, namun menjadi pertimbangan kedua setelah melalui tahapan
zonasi dari sekolah. Kemendikbud mewajibkan setiap sekolah menampung sedikitnya
90 persen murid yang berdomisili dekat dengan sekolah yang didaftar. Jumlah 90
persen tersebut juga termasuk calon siswa yang mendaftar lewat jalur keluarga
tidak mampu dan disabilitas. Siswa yang menggunakan jalur prestasi akademik dan
nonakademik mendapatkan jatah kuota 5 persen. Sedangkan 5 persen sisanya
digunakan untuk calon siswa yang mendaftar di sekolah yang terletak di luar
zona rumahnya.
Selain itu terdapat empat peraturan baru sistem zonasi pada PPDB 2019: Penghapusan SKTM; lama
domisili; pengumuman daya tampung untuk menghindari praktik jual-beli kursi, dan prioritas satu zonasi sekolah asal.
Hanya saja sistem zonasi ini memiliki banyak tantangan.
Pertanyaan yang sesungguhnya adalah apakah sistem zonasi ini diyakini akan
memperbaiki kualitas pendidikan? Jika iya, maka perlu diteruskan dan didukung.
Sehingga banyaknya tantangan bisa diatasi sedikit demi sedikit.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak siswa dan
orangtua yang merasa kecewa dengan penerapan sistem zonasi ini. Mengapa ?
Karena banyak di antara mereka yang sudah menyiapkan sekian tahun agar bisa
masuk sekolah favorit. Bahkan lintas generasi dalam keluarga mereka ada yang
selalu di sekolah favorit, sehingga manakala ia gagal masuk karena kuota
terbatas, maka menjadi penyesalan yang mendalam.
Menurut penulis, sistem zonasi ini sangat bagus
diterapkan. Pemerataan pendidikan memang akan lebih terwujud jika hal ini
diterapkan. Sekolah – sekolah pinggiran yang sepi peminat, bisa menjadi pilihan
bagi yang rumahnya dekat. Input dengan nilai tinggi pun bisa diperoleh dengan
lebih mudah, tidak harus dengan memberikan hadiah prestasi /beasiswa bagi yang
nilainya tinggi. Setidaknya pemerataan input sudah bisa terlihat dalam zonasi
ini. Kapan lagi pendidikan bisa merata manakala tidak diterapkannya sistem
zonasi ini ?
Sebaiknya sebelum sistem zonasi diterapkan alangkah
baiknya perlu dipikirkan bagaimana peta
sebaran distribusi guru dan ketersediaan sarana prasarana sekolah. Aspek ini sangat penting, karena ujung dari pembelajaran
adalah di tangan para hguru. Penyediaan sarana dan prasarana juga tidak kalah
pentingnya, karena siswa tidak hanya belajar dari guru semata, ia perlu belajar
dari sumber – sumber yang lain.
Kekecewaan siswa karena tidak bisa masuk di sekolah
favorit bisa tergantikan manakala distribusi guru sudah merata. Distribusi ini
tidak hanya kualiatas guru dalam mengajar semata, namun juga seberapa persenkah
guru yang mengajar sesuai dengan kualifikasinya, karena masih banyak didapati
guru mengajar tidak sesuai dengan bidang yang diampu. Fasilitas sekolah favorit
tentu saja sangat berbeda dengan sekolah yang bukan favorit, hal ini wajar
karena dukungan alumni dari sekolah favorit untuk kemajuan sekolah lebih besar,
selain faktor lamanya sekolah itu berdiri.
Semoga saja sistem zonasi ini diiringi dengan distribusi
guru yang merata baik tinjauan kualitas mengajar ataupun kualifikasi akademik,
demikian juga fasilitas sekolah bisa segera diperbaiki dan dilengkapi. Dengan
distribusi guru yang bagus dan fasilitas memadai, maka kekecewaan siswa dan
orangtua terobati karena gagal masuk sekolah favorit. Sehingga tujuan yang
berkeadilan dapat tercapai untuk mencapai kualitas pendidikan seperti di negara
maju.
Subscribe to:
Posts (Atom)