Text Widget

Sample Text

Remidi 2 Materi Bilangan

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

BTemplates.com

Pages

Blogroll

About

Wednesday, 6 May 2020

Friday, 24 April 2020

Lebih Memilih Les Mahal



5 High-Fee ETFs Worth Paying Up For | InvestorPlace

Yang masih g habis pikir dipikirin saya adalah sebagian orang masih memilih les yang berbiaya mahal. Mereka menganggap bahwa les di bimbel atau les privat yang mahal akan menjamin sisi kualitas. Pendapat ini menurutku ada benarnya, meski tidak sepenuhnya benar.
Seorang kawan (pengajar les) menceritakan kalau tarif dia memberikan les adalah Rp150.000,00 (edisi Akhir tahun 2019) tiap 1,5 jam. Menurutku terlalu mahal. Namun karena yang les nota bene anak orang kaya, maka harga segitu masih lumayan murah bagi mereka.
Bimbel - bimbel yang besar pun tarifnya jor - jor an. Ada yang nyampai 10 juta pertahun, meski mereka memberikan diskon tertentu untuk guru, dll. 
Orang - orang kaya - entahlah - lebih memilih harga yang mahal bisa karena harapan kualitas, bisa harapan ketenaran, atau gengsi semata.
Sah sah saja mereka memilih. Namun bukan berarti tarif murah, terus kualitas jelek. Ini yang perlu digaris bawahi.
Saya masih menjumpai kawan - kawan yang bekerja sebagai pengajar les tarifnya murah. Murah karena memang segment pasarnya adalah orang - orang menengah ke bawah. 
Kalau saya sendiri, misal sebagai orang tua yang kaya, dan punya anak yang pintar, maka cenderung memilih les dengan berbiaya mahal. Selain puas, dampaknya akan semakin terasa. Yang ngeles merasa ada tanggungjawab.
Kalau Anda ?

Thursday, 27 June 2019

Zonasi PPDB Antara Harapan Dan Kenyataan.


Zonasi Sekolah hingga Guru, Kebijakan Strategis Jangka Panjang ...
Pemerataan pendikan merupakan masalah makroskopis (Castelli, 2012) yang melibatkan seluruh stakeholder baik guru, siswa, orangtua siswa, dinas pendidikan setempat, masyarakat, maupun pemerintah.  Pendidikan yang berkeadilan telah menjadi bagian penting dari berbagai diskusi yang terperinci, mendalam, dan menyeluruh. Di Indonesia misalnya, semuanya saling kait mengait mengingat tingkat geografis yang berpulau – pulau, aneka budaya, dan beragam kepentingan lainnya sehingga mencapai pemerataan pendidikan yang ideal tentu sulit, meski demikian perlu pengkajian yang mendalam aspek pemerataan ini dengan memaksimalkan potensi pendidikan yang berkeadilan.

Prinsip keadilan ini salah satunya adalah menerapkan sistem zonasi dalam PPDB. Tahun ajaran baru 2019/2020, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah mengumumkan sistem yang digunakan untuk program Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) 2019. Di antara aturan tersebut, sebagian sudah diterapkan sejak 2018. Beberapa perubahan yang dipakai Kemendikbud untuk tahun ajaran ini tertuang pada Permendikbud No.51/2018 tentang penerimaan peserta didik baru tahun ajaran 2019/2020. Melalui Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018, prinsip yang dikedepankan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) adalah nondiskriminatif, objektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan untuk mendorong peningkatan akses layanan pendidikan.
Sistem zonasi ini mempertimbangkan jarak rumah ke sekolah yang didaftar. Sistem zonasi sebenarnya penyempurnaan dari sistem rayonisasi yang sudah ada sejak era 1990an, begitu juga sistem kuota dalam dan luar kota yang sudah diterapkan di berbagai kota besar. Dengan demikian sistem zonasi ini bukanlah hal yang baru dalam dunia pendidikan. Perlu diketahui bahwa sistem zonasi pada PPDB 2019/2020 ini memiliki tujuan yaitu pemerataan pendidikan dengan menghapus label sekolah unggulan atau favorit. Jika pendidikan yang merata ini tercapai, maka prinsip yang berkeadilan dapat diwujudkan sehingga akan didapatkan kualitas pendidikan dengan lebih baik.
Selain itu harapan pemerintah dengan adanya zonasi ini mempermudah pemerintah pusat dan daerah untuk memetakan dan memberikan peningkatan akses pendidikan, baik terkait fasilitas sekolah, metode pembelajaran, maupun kualitas dan distribusi guru, sehingga dapat mempercepat pemerataan mutu pendidikan di seluruh daerah. Dengan kata lain, pemerataan dari input siswa selanjutnya menuju pemerataan dari aspek yang lain.
Menariknya pembagian sistem zonasi ini diserahkan ke Pemda masing – masing terkait faktor geografis dan sebaran penduduk di wilayah tersebut. Apakah pembagian zonasi ditentukan lewat jarak tempuh dari rumah ke sekolah, atau diklasifikasikan per Kelurahan akan menjadi wewenang Pemda setempat.
Dengan zonasi, nilai ujian dan rapor siswa tidak lagi menjadi prioritas, namun menjadi pertimbangan kedua setelah melalui tahapan zonasi dari sekolah. Kemendikbud mewajibkan setiap sekolah menampung sedikitnya 90 persen murid yang berdomisili dekat dengan sekolah yang didaftar. Jumlah 90 persen tersebut juga termasuk calon siswa yang mendaftar lewat jalur keluarga tidak mampu dan disabilitas. Siswa yang menggunakan jalur prestasi akademik dan nonakademik mendapatkan jatah kuota 5 persen. Sedangkan 5 persen sisanya digunakan untuk calon siswa yang mendaftar di sekolah yang terletak di luar zona rumahnya.
Selain itu terdapat empat peraturan baru sistem zonasi pada PPDB 2019: Penghapusan SKTM; lama domisili; pengumuman daya tampung untuk menghindari praktik jual-beli kursi, dan prioritas satu zonasi sekolah asal.
Hanya saja sistem zonasi ini memiliki banyak tantangan. Pertanyaan yang sesungguhnya adalah apakah sistem zonasi ini diyakini akan memperbaiki kualitas pendidikan? Jika iya, maka perlu diteruskan dan didukung. Sehingga banyaknya tantangan bisa diatasi sedikit demi sedikit.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak siswa dan orangtua yang merasa kecewa dengan penerapan sistem zonasi ini. Mengapa ? Karena banyak di antara mereka yang sudah menyiapkan sekian tahun agar bisa masuk sekolah favorit. Bahkan lintas generasi dalam keluarga mereka ada yang selalu di sekolah favorit, sehingga manakala ia gagal masuk karena kuota terbatas, maka menjadi penyesalan yang mendalam.
Menurut penulis, sistem zonasi ini sangat bagus diterapkan. Pemerataan pendidikan memang akan lebih terwujud jika hal ini diterapkan. Sekolah – sekolah pinggiran yang sepi peminat, bisa menjadi pilihan bagi yang rumahnya dekat. Input dengan nilai tinggi pun bisa diperoleh dengan lebih mudah, tidak harus dengan memberikan hadiah prestasi /beasiswa bagi yang nilainya tinggi. Setidaknya pemerataan input sudah bisa terlihat dalam zonasi ini. Kapan lagi pendidikan bisa merata manakala tidak diterapkannya sistem zonasi ini ?
Sebaiknya sebelum sistem zonasi diterapkan alangkah baiknya perlu dipikirkan bagaimana peta sebaran distribusi guru dan ketersediaan sarana prasarana sekolah. Aspek ini sangat penting, karena ujung dari pembelajaran adalah di tangan para hguru. Penyediaan sarana dan prasarana juga tidak kalah pentingnya, karena siswa tidak hanya belajar dari guru semata, ia perlu belajar dari sumber – sumber yang lain.
Kekecewaan siswa karena tidak bisa masuk di sekolah favorit bisa tergantikan manakala distribusi guru sudah merata. Distribusi ini tidak hanya kualiatas guru dalam mengajar semata, namun juga seberapa persenkah guru yang mengajar sesuai dengan kualifikasinya, karena masih banyak didapati guru mengajar tidak sesuai dengan bidang yang diampu. Fasilitas sekolah favorit tentu saja sangat berbeda dengan sekolah yang bukan favorit, hal ini wajar karena dukungan alumni dari sekolah favorit untuk kemajuan sekolah lebih besar, selain faktor lamanya sekolah itu berdiri.
Semoga saja sistem zonasi ini diiringi dengan distribusi guru yang merata baik tinjauan kualitas mengajar ataupun kualifikasi akademik, demikian juga fasilitas sekolah bisa segera diperbaiki dan dilengkapi. Dengan distribusi guru yang bagus dan fasilitas memadai, maka kekecewaan siswa dan orangtua terobati karena gagal masuk sekolah favorit. Sehingga tujuan yang berkeadilan dapat tercapai untuk mencapai kualitas pendidikan seperti di negara maju.