Text Widget

Sample Text

Remidi 2 Materi Bilangan

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

BTemplates.com

Pages

Blogroll

About

Thursday, 2 January 2014

Menolak Siswa Les


Barangkali timbul pertanyaan dalam benak kita, memangnya ada siswa yang harus kita tolak ? Ya, ada. Bahkan saya katakan “harus” kita tolak, bukan “sebaiknya” kita tolak. Argumen lain akan muncul seperti bukannya sebaiknya kita terima, toh mereka ingin belajar pada kita? Sebelum menjawab hal tersebut, sedikit akan saya uraikan keadaan 2 siswa yang harus kita tolak :
a.       Siswa yang kemampuan akademik kurang dan malas belajar. Hal ini tidak cukup, masih ditambah siswa tersebut punya aktivitas yang tidak bermanfaat seperti game maniak atau terlalu banyak kegiatan sekolah. Setiap waktunya habis untuk main game. Begitu juga yang punya kegiatan sekolah bisa pulang sore – sore, sehingga saat mau les, fisik sudah capek.
Pada kondisi ini, siswa tersita waktu dan konsentrasi belajar dengan hal tersebut, akibatnya minat dan motivasi les sangat lemah. Gambaran ketika les, siswa terasa di otaknya ada beban 2 ton padahal yang kita berikan hanya 2 ons. Ini tampak sekali terlihat pada saat mau les, harus dipaksa oleh orangtuanya, dan ketika les tampak ketidak betahan, kejenuhan, atau ketidak tenangan. Hal yang lebih juah apapun yang kita berikan akan masuk dari telinga kiri dan keluar dari telinga kiri.
Tentunya sebuah beban psikologis tersendiri manakala ketika kita datang, si anak tidak siap les. PR atau tugas yang kita berikan, si anak tidak mempedulikan, bahkan pelajaran kemarin sudah lupa. Akhirnya setahun les kita lewati, hasilnya nilai anak terkapar di bawah bantal. Otomatis orangtua enggan untuk menyapa kita, dan kita pun segan untuk menanyakan hal – hal lain tentang kondisi anak tersebut.
Dengan demikian, apakah kita bersedia menerima permintaan les ?
b.      Siswa yang mendaftar les waktunya sudah mepet ujian, kira – kira kurang dari 2 bulan sudah mau tes.
Misal si A dan B sudah les sama kita lebih dari 6 bulan. Si A dan Si B punya teman namanya si C. Si C tahu kalau si A dan si B sudah les dari dahulu, dan si C menunda – nunda lesnya dengan kita. Tiba – tiba nilai try out si C jelek, kemudian si C minta les kepada kita. Seandainya kita terima si C, kemudian hasil UN menunjukkan nilai si C lebih bagus dari si A dan si B, maka kemungkinan yang terjadi adalah :
1). Si C akan menggampangkan masalah les. Si C akan berpikir praktis, bahwa les tidak perlu lama, buktinya dia hanya sebulan les namun hasilnya bisa mengungguli si B dan si A.
2). Si C bisa jadi akan cerita kepada orang lain, bahwa les tidak perlu lama. Les yang lama tidak menjamin hasilnya bagus. Akhirnya oranglain ikut – ikutan membenarkan perkataan si C, sehingga akan mendaftar les dengan waktu mepet.
3). Si A dab Si B tentu akan kecewa dengan profesionalitas kita dalam memberikan les. Mosok si C yang hanya les seumuran jagung mampu mengalahkan dirinya, berarti selama ini guru lesnya ngapain ?
Sebaliknya, seandainya si C nilainya jelek, maka citra kita di mata orangtua dan oranglain ikut jelek. Si C yang les hanya seumuran jagung, dianggap oleh masyarakat les dengan kita sudah lama.
Oleh karenanya tidak ada manfaat yang signifikan bila kita mengambil si C untuk jadi murid kita. Belum lagi dengan masuknya si C kita harus menguras energi les yang lebih besar untuk menyamakan materi dengan si A dan si B
Di sisi lain, dengan kita menolak si C ternyata ada manfaatnya buat pembelajaran si C, diantaranya :
1.       Menyadarkan si C bahwa kalau les jangan mepet – mepet

2.       Agar si C memiliki perhatian bahwa mencari guru les ternyata tidak mudah

Marah Diperlukan


Dalam banyak kondisi, guru les begitu lemah dihadapan siswanya. Seakan – akan guru les adalah pelayan rendahan. Image ini terbangun sendirinya dari diri guru les sendiri. Implikasinya adalah guru les enggan menegur sehingga cenderung terjadi pembiaran, manakala melihat siswa lesnya nakal, malas berpikir, malas mengerjakan, ramai, dll.
Semestinya sikap – sikap siswa tadi hanyalah sesekali, namun jika berulang kali, maka haruslah ditegur. Jika ditegur memang susah, maka bolehlah marah dengan ucapan tanpa menyinggung perasaan. Marah cukuplah dengan nada tinggi tanpa keluar dari sesuatu yang tidak terkontrol. Ini memang sulit dan membutuhkan latihan.
Rasa marah ini haruslah ditempatkan pada tempatnya dan harus dijelaskan di awal pertemuan agar tejadi kesepakatan. Bila tidak, maka dikhawatirkan menimbulkan kesalahpahaman, miskomunikasi, dan konflik. Ambil misal guru memarahi siswa dengan perkataan A, bisa jadi siswa melaporkan kepada orangtuanya dengan mendramatisir dengan mengatakan perkataan yang tidak diucapkan si guru tadi. Hasilnya, akan timbul perasaan negatif dari diri orangtua siswa kepada si guru. Oleh karenanya, di awal pertemuan dijelaskan terlebih dahulu agar konflik dapat diminimalisir. Akan tetapi jika kemudian terjadi friksi, akan lebih tepat guru menjelaskan duduk perkaranya. Asalkan guru marah tanpa dengan pukulan/fisik maka justru rasa marah itu didukung oleh orangtuanya.

                Jika hilang rasa marah dan keengganan untuk menegur, maka siswa justru akan merendahkan kita. Jika kita sudah merasa rendah dihadapan siswa, berdampak ilmu yang kita berikan terbuang percuma. 

Perlukah Ulangan


Terkadang seorang guru les menginginkan penilaian untuk mengukur sejauhmana kompetensi les yang diberikan. Mereka memandang bahwa dengan ulangan (ujian/uji kompetensi) yang diberikan siswa akan belajar dan dapat dilakukan refleksi serta tindak lanjut. Jika nilai kurang dari yang diharapkan, maka remidi diperlukan dan dijelaskan kembali apa yang harusnya dikuasi. Manakala siswa begitu mudah mengerjakan soal yang kita berikan, maka selanjutnya guru les dapat meningkatkan kualitas kesulitan soal.
                Yang menjadi masalah adalah apakah si siswa bersedia ikut ulangan (uji kompetensi) atau tidak. Jika ia tidak bersedia maka jangan diadakan, akan tetapi coba uji dengan tes lisan tanpa sepengetahuannya. Jika ia bersedia mau ikut ulangan, maka selanjutnya dipikirkan waktu ulangan tersebut.
                Salah satu waktu ulangan yang bisa ditempuh adalah pada pertemuan keempat. Cukup waktu ujian adalah 20 menit, selanjutnya diadakan remidi/pengulangan materi dan pengayaan. Pada awal kali ujian, soal dibuat semudah mungkin tanpa mengurangi esensi les. Selanjutnya soal – soal ujian disusun  bertahap menuju tingkat sulit berdasar kemampuan siswa. Soal yang dibuat pun berdasar materi yang diberikan guru lesnya, bukan materi yang tidak diajarkan olehnya.
                Dalam memberikan soal ujian tidaklah harus banyak cukup 3 soal tidak masalah. Kriteria ketuntasan guru les diberi kebebasan menentukan. Saya cenderung menggunakan nilai minimal 70 untuk ketuntasan materi.
                Kategori kualitatif yang saya buat (disesuaikan dengan kemampuan anak ) sebagai berikut :
a.       Nilai 60 – 69 = siswa sudah bisa melanjutkan ke bab selanjutnya
b.      Nilai 70 – 79 = siswa sudah tuntas materi
c.       Nilai 80 – 89 = siswa tinggal menghadapi soal yang baru atau sulit
d.      Nilai 90 – 99 = siswa tinggal meningkatkan ketelitian pengerjaan
e.      Nilai 100      = siswa sudah mampu mengerjakan soal yang sulit, baru, dan sudah teliti
Dengan adanya uji kompetensi tersebut, guru les akan lebih bersemangat dan akan mendapatkan kepuasan karena siswa sudah berusaha dan paham terhadap materi yang disampaikan. 

Ajak Siswa Berpikir Analisis


Hal yang tidak boleh dilupakan oleh guru les dalam menyampaikan materi adalah menanyakan kejelasan kepada siswa, seperti mengungkapkan pertanyaan :
-           “ Sudah paham belum ?”
-          “Jelas, ndak ?”
-          “Gimana, ada kesulitan gak ?”
-          “Ada yang perlu dijelasain ulang ?”
-          “Bagian mana yang tidak paham ?”
-          “Gimana, terlalu cepet, ndak ?”
-          Dst
Pertanyaan di atas berkaitan tentang mengetahui apakah yang kita jelaskan, siswa sudah paham atau mengajak siswa mengemukakan usul agar berani mengkritisi dan memberi kesempatan siswa berpikir kritis dan menganalisis. Pertanyaan itu sangat penting agar ilmu yang disampaikan dapat merasuk ke otak dengan jeda pertanyaan yang kita ajukan.
Diskusi dengan pertanyaan – pertanyaan ringan tentang materi yang kita sampaikan, akan membuat siswa semakin tertantang dan semakin ingin tahu. Janganlah pertanyaan hanya menanyakan apa, siapa, atau kapan. Tapi ajaklah siswa untuk menjawab pertanyaan :
-          Bagaimana, ada perbedaaan tidak 2 hal tersebut ?
-          Coba amati, dari sisi mana kesamaan ketiga hal tersebut ?
-          Coba bandingkan dengan jawaban ini !
-          Coba ceritakan dengan bahasa kalian !
-          Bagimana cara mendapatkan rumus itu ?
-          Mengapa hal itu bisa terjadi ?
-          Dengan sebab apakah peristiwa itu terjadi, coba uraikan !
-          Coba diskusikan dengan teman sebangkumu, hal – hal apa saja yang menjadikan seperti itu ?
-          Coba resapi, cara manakah yang paling mudah menurutmu ?
-          Bisakah kamu membuat polanya, coba ungkapkan !
-          Dst

Pertanyaan – pertanyaan di atas sangat perlu diajukan kepada siswa, jika siswa tidak mampu seperti yang guru les harapkan, maka coba pandu dengan pertanyaan – pertanyaan arahan. Adakalanya pertanyaan yang kita ajukan, siswa tidak bisa memahami dengan baik sehingga menimbulkan jawaban yang tidak seperti yang kita inginkan.