Darma Bakti Guru
Meminjam
salah satu potongan ayat dalam Q.S Yusuf ayat 108 :“Qul haadzihii sabiilii ...” yang artinya “Katakanlah inilah jalanku
...”. Ya, kita katakan kepada orang lain bahwa guru adalah jalanku dan
jalan hidupku. Seharusnya, oranglain
mengatakan kepada kita, bahwa kita adalah seorang guru, meski kita tidak pernah
mengatakannya. Mengapa ? Karena darah dan jiwa sesosok guru sudah terpatri.
Jiwa yang siap mengabdi dan melayani untuk kepentingan orang lain. Jiwa yang
sabar dan terasah atas keluhan muridnya hingga keluarlah jiwa kesabaran di
tengah masyarakat. Mereka melihat kita
sosok yang siap untuk diteladani dan dijadikan panutan.
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasalam bersabda :“Senyummu kepada saudaramu merupakan
sedekah, engkau memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran juga
sedekah, engkau menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat juga sedekah,
engkau menuntun orang yang berpenglihatan kabur juga sedekah, menyingkirkan
batu, duri, dan tulang dari jalan merupakan sedekah, dan engkau menuangkan air
dari embermu ke ember saudaramu juga sedekah.” (HR. At-Tirmizi no. 1956
dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 517).
Perhatikanlah
dan baca terus berulang hadist di atas. Senyummu kepada saudaramu merupakan
sedekah, inilah
penggalan pertama hadist di atas. Senyum adalah hal sepele. Hal yang dianggap
bukan hal yang besar tetapi justru dinilai sedekah. Senyum kepada siswa
tidaklah mengurangi kewibawaan. Jika demikian mudahnya dan sepelenya, lalu
mengapa betapa sulitnya mendapatkan guru yang bermuka berseri – seri dan betapa
sulitnya mendapatkan guru yang selalu bersenyum. Mengapa masih banyak dijumpai
guru yang bermuka masam, bermuka bengis bak algojo, padahal siswa menginginkan
kedekatan, siswa menginginkan care.
Pada
penggalan ketiga hadist di atas, engkau menunjukkan jalan kepada orang yang
tersesat juga sedekah,maka bagaimana halnya dengan seorang guru yang mencurahkan waktu dan
ilmunya untuk menunjuki para siswanya ke jalan yang lurus. Betapa cerdasnya
siswa, mesti ia memiliki kebingungan dalam menentukan jalan hidupnya. Bisa jadi
karena umurnya masih terpaut jauh dengan gurunya, sehingga pengalaman hidup
tergolong pendek, lantas ia bertanya kepada gurunya perihal apa yang harus ia
lakukan dalam menghadapi masa depan. Langkah – langkah apa yang harus disiapkan
oleh seorang siswa dalam mengarungi lautan kehidupan, guru sebagai garda
terdepan dalam membekali hal – hal yang postif, agar anak didiknya tidak
tersesat.
Di
sekolah, kita jumpai beraneka problem yang dimiliki siswa. Dari masalah
belajar, bergaul, pacaran, bertingkah laku, bertutur kata, masalah keluarga,
dan segudang masalah yang membelenggu siswa. Bukankah kita mengajak siswa yang
bermasalah tadi kepada kebaikan dan melarang keburukan termasuk sedekah ?
Sebagaimana penggalan kedua hadist di atas, ‘engkau memerintahkan yang
ma’ruf dan melarang dari kemungkaran juga sedekah’. Ya, dinilai sedekah
meski hanya menegur sekali dua kali. Lalu bagaimana halnya bila seorang guru
melakukan secara terus menerus, kontinu, penuh kesabaran, keikhlasan, hingga
anak didiknya lulus dari bangku sekolah. Tentu usaha sebanding nilai sedekah.
Bila
menuntun orang yang berpenglihatan kabur
adalah sedekah, maka bagaimana halnya dengan seorang guru yang membimbing
dan menuntut siswanya yang tergolong memiliki kemampuan rendah dalam berpikir
untuk diajari membaca, menulis, dan berhitung. Tentu akan mendapat pahala
sedekah pula. Membimbing siswa dari zero
to hero tentu lebih besar lagi pahala sedekahnya. Bila menyingkirkan batu, duri, dan tulang
dari jalan merupakan sedekah, maka bagaimana halnya dengan seorang guru yang menyingkirkan
permasalahan yang dihadapi siswanya, memberikan solusi dan pencerahan atas beban
pikiran yang ditanggung siswa. Bisa jadi ini lebih bernilai sedekah.
Tidak
dipungkiri menolong orang lain merupakan perbuatan baik. Bila demikian halnya,
maka mengapa teramat sedikit guru yang bersedia membantu atau meminjami uang
untuk pembayaran SPP anak didiknya padahal nilainya tidak seberapa. Tidakkah
kita merenungi hadist di atas “... dan engkau menuangkan air dari embermu
ke ember saudaramu juga sedekah”. Bila demikian termasuk sedekah, maka termasuk
sedekah pula seorang guru yang ikhlas membantu temannya yang sedang tertimpa
musibah dengan sedikit sumbangan.
Ya
demikianlah pahala sedekah yang bisa dilakukan oleh seorang guru yang dikenal
dengan pahlawan tanpa tanda jasa. Di katakan pahlawan karena dengan jiwa
pengabdian dan keihlasan tanpa menginginkan pujian dari siapapun, ia telah
menyedekahkan umurnya, perkataannya, dan tingkah lakunya sebagai teladan di
mata anak didiknya dan di masyarakat pada umumnya. Tanpa tanda jasa dikarena
tidak ada balasan yang teristimewa dari pihak manapun. Justru tidak pantas
seorang guru yang sudah mengikrarkan dirinya menjadi sosok guru untuk minta
pujian terlebih jasa dari orang lain atas jerih payah yang dilakukan.
Alangkah
mulianya bila seorang guru mengajarkan kebaikan berupa kasih sayang, kelemah
lembutan, kejujuran, keihlasan, tutur kata yang baik, dan perilaku kebaikan
yang lain, kemudian kebaikan itu dicontoh. Pedoman seorang guru dalam
mengajarkan kasih sayang adalah orang lain akan menyayangi kita, sebagaimana
ada dalam sebuah hadist yang maknanya bila kita menyayangi semua mahkluk yang
ada di bumi, niscaya yang ada di langit menyayangi kita. Bila sifat kasih
sayang ini kita lakukan pada hewan dan tumbuhan, maka bagaimana lagi dengan
manusia.
Seorang
guru mengajarkan dan mendidik siswanya dengan kelemahlembutan (Al – liin) , maka demikianlah asalnya.
Sejelek apapun perilaku siswa, tetaplah harus dilayani dengan kelembutan. Siswa
bukanlah pekerja yang penuh dengan bentakan si majikan. Tapi siswa adalah mesin
hidup yang punya hati nurani. Jika kita menginginkan siswa dapat berbahasa jawa krama (salah satu terhalus dalam
bahasa jawa), maka kita mulai dahulu dengan berbahasa jawa krama dengan murid kita.