Text Widget

Sample Text

Remidi 2 Materi Bilangan

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

BTemplates.com

Pages

Blogroll

About

Saturday, 17 December 2016

Klinik Guru, Bukan Share Guru Semata


Kurikulum sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (19) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dan KTSP 2006 yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu.


Wacana klinik guru, untuk menjawab pertanyaan terkait keluhan, tempat berkonsultasi, tempat bertanya di lapangan saat guru melaksanakan tugasnya melaksanakan kurikulum 2013. Klinik guru ini nantinya akan disebar di setiap kabupaten/kota dan diharapkan akan memberikan alternatif solusi.
Sekilas tampaknya menjadi angin segar bagi guru yang masih mengalami kendala dalam membelajarkan materi pelajaran sesuai yang diinginkan kurikulum. Hanya saja menyisakan pertanyaan besar terkait sistem manajemen dan pengelolaan klinik guru tersebut. Begitu juga, siapa yang akan menjadi konsultan ahli (instruktur) dalam menjawab berbagai keluhan tersebut. Hal ini tidaklah mudah, dan tentu saja jangan hanya klinik guru sebagai tempat share saja bagi para guru.
Ada jutaan guru yang telah melakukan pelatihan kurikulum, meski demikian setiap guru memiliki kompetensi yang berbeda – beda, penguasaan TI, latar belakang dan kulaifikasi pendidikan, serta tersebar di seluruh pelosok tanah air dengan keragamannya. Yang terjadi di lapangan bahwa banyak guru yang mengajar bukan pada bidangnya dan kualifikasi pendidikan pun tidak sesuai dengan apa yang diajarkan. Sementara pelatihan kurikulum 2013 terbatas pada pelatihan pembuatan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), sehingga esensi dari pengembangan materi belum tersampaikan dengan baik, mengingat keterbatasan waktu penyelenggaran pelatihan kurikulum tersebut. Jadilah pelatihan kurikulum sebagai “stimulant”, selebihnya praktik di lapangan yang lebih penting.
Terdapat tiga komponen besar dalam pendidikan dan pengajaran kepada peserta didik, yaitu : pertama, kompetensi pengajar. Kompetensi pengajar mencakup sejauhmana latar belakang pendidikan guru, penguasaan kompetensi/keahlian guru, seberapa lama jam mengajar, seberapa berat peserta didik yang akan dihadapi, serta seberapa sulit materi ajar yang disesuaikan dengan penguasaan teknologi informasi. Kedua, metodologi pengajaran yang mencakup sejauhmana guru mengemas materi ajar menjadi sesuatu yang menarik bagi siswa tentu saja sesuai pendekatan scientific. Terkait hal ini adalah pengemasan materi dalam model pembelajaran, metode, teknik, serta pendekatan. Ketiga, penguasaan peserta didik. Seperti dimaklumi bersama bahwa setiap daerah memiliki perbedaan karakteristik peserta didik, bahkan dalam 1 daerah pun terjadi perbedaan. Belum lagi wilayah perkotaan, pinggiran kota, pedesaan, pantai, pegunungan, distrik terpencil, pun turut andil mempengaruhi peserta didik.
Variabel – variabel di atas tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Anggaplah seorang guru memiliki kompetensi dalam bidangnya, lalu apakah serta merta mampu dan mau beradaptasi dengan metodologi pengajaran dan memahami karakteristik peserta didik ? Begitu pun seorang guru yang senior dalam jam terbang dan penguasaan kelas, lantas apakah dengan mudah menerapkan kurikulum 2013 ? Belum tentu juga. Sesungguhnya, permasalahan inti dari keluhan terhadap kurikulum 2013 adalah dari sisi pengemasan materi (termasuk di dalamnya adalah evaluasi) yang disesuaikan dengan potensi peserta didik yang beragam. Jadi, sejauhmana seorang guru mampu membelajarkan materi dengan pendekatan scientific, yang meliputi mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasikan, dan mengkomunikasikan secara terpadu dengan kemampuan peserta didik serta disesuaikan dengan kearifan lokal dan minimnya fasilitas. Inilah yang menjadi PR bersama. Hal ini jauh lebih penting daripada melatih guru hanya bisa untuk membuat RPP dan analisis yang sesuai dengan kurikulum 2013, tapi jauh dari praktek. Karena demikianlah yang terjadi selama ini, bahwa pelatihan kurikulum 2013 masih berorientasi pada bagaimana guru mampu membuat RPP, evaluasi, dan analisis.
Kendala – kendala yang dihadapi pada pengamatan adalah penyediaan gambar, foto, dan video yang hal ini terkait dengan Teknologi Informasi ambil misal LCD yang tidak setiap sekolah menyediakan. Bahkan setiap sekolah pun terbatas dalam penggunaan LCDnya. Kegiatan menanya mengalami kendala pada budaya siswa dalam bertanya. Tidak setiap siswa mau bertanya dengan alasan malu, bertanya atau menjawab dengan bahasa yang baik pun menjadi kendala. Pada pengumpulan informasi guru mengalami kesulitan dalam penyediaan sumber ajar baik berupa internet, surat kabar, majalah, atau buku – buku pendukung lainnya. Jika kegiatan mengamati, menanya, dan mengumpulkan informasi mengalami kendala dan sulit diatasi karena fasilitas, maka kegiatan mengasosiasi serta mengkomunikasikan menjadi hal yang susah diterapkan.
Kendala – kendala inilah yang menjadi PR bagi klinik guru. Inilah esensi pertanyaan – pertanyaan nantinya. Lalu siapa yang akan menjadi tenaga ahli dalam mengatasi kendala – kendala di atas ? Logikanya, haruslah tenaga ahli adalah praktisi di lapangan bukan hanya akademisi yang berkecimpung pada teori. Jika diambil adalah praktisi di lapangan, maka seyogyanya diambilkan dari tenaga pengajar guru yang beragam asal sekolah, sehingga variansi jawaban dapat menjadi solusi yang konstruktif.  Selanjutnya terkait sistem manajemen dan pengelolaan, maka baik online maupun offline seharusnya dapat dikelola dengan baik. Jawaban – jawaban dapat diakses dengan secepat mungkin. Selama ini layanan konsultasi via website – website pendidikan sekadar mangkrak dan kurang mendapat perhatian, belum lagi jawaban – jawaban dari layanan konsultasi belum tertangani dengan baik. Oleh karena ini, tenaga ahli (instruktur) yang akan menjawab pertanyaan – pertanyaan terkait kurikulum 2013 harus standby dan fokus.  
Guru yang mampu mengemas materi dengan baik tentu berbandinglurus dengan kompetensi guru serta penguasan kelas. Kualitas pengajaran bisa ditempuh bilamana guru yang kompeten tersebut mau terus untuk mengembangkan diri dengan kursus – kursus, pelatihan,  perkuliahan, saling share, tukar menukar informasi, dll. Oleh karena itu seiring dunia berubah, kurikulum berubah, maka cara mengajarpun harus berubah.


            

Guru Proporsional Yang Profesional


Seseorang yang sudah terdaftar sebagai seorang guru, maka pada saat itu waktunya telah terbeli oleh sekolah atau negara bagi yang statusnya PNS. Dengan terbelinya waktu tersebut, mau tidak mau segala tenaga dan pikiran harus tercurahkan ke sekolah tempat mengabdi. Namun sayang masih dijumpai pada sebagian guru bahwa sekolah hanya dijadikan sampingan atau istirahat dari berbagai pekerjaan – pekerjaan rumahan, sehingga jasadnya di sekolah namun pikiran melayang di rumah. Jadilah apa yang disampaikan ke murid tidak ada bobotnya sama sekali.

Sebaliknya, sebagian guru bersikap ekstrim dalam bekerja. Seluruh waktunya terfokus untuk kegiatan – kegiatan sekolah seakan – akan tidak ada waktu di rumah. Istri dan anak seolah ditelantarkan dengan dalih memajukan sekolah. Berbagai kepanitian kegiatan sekolah, dia selalu melibatkan diri. Ketua, sekretaris, atau bendahara dalam kepanitiaan selalu namanya muncul. Guru tersebut tidak percaya terhadap guru lain dalam sisi tanggung jawab dengan alasan ketidakmampuan dalam tugas. Hingga semua kegiatan sekolah terfokus padanya. Ia rela siang malam tidur di sekolah untuk memenuhi ambisinya.
Dia seolah – olah lupa bahwa di samping tugas sekolah, ia mempunyai tugas di rumah, salah satunya berkomunikasi dengan anggota keluarga yang lain atau bahkan memberikan pendidikan buat buah hatinya. Sungguh naïfnya  guru yang seperti ini, banyak siswa yang dapat dipintarkan, namun anak sendiri pendidikannya terbengkalai.
Seorang guru yang bijaksana tentu tidak akan memilih kedua model guru di atas. Ia akan bersikap pertengahan. Ketika di sekolah, seluruh pikiran dan tenaganya difokuskan di sekolah. Di sela – sela waktunya di sekolah disibukkan dengan membantu mengatasi permasalahan – permasalahan yang dialami siswa. Karena setiap siswa hakikatnya dia memiliki masalah baik skalanya ringan sampai besar. Guru tersebut mencoba mendiskusikan dengan guru sejawatnya untuk mencari solusi. Kegiatan – kegiatan sekolah dia pun turut andil namun tidak memaksakan diri. Tugas – tugas tambahan seperti perencanaan dan pelaksanaan program dia pun berusaha terlibat namun tidak membebani diri. Seluruh pekerjaan sekolah, ia harus selesaikan di sekolah. Jikalau belum selesai, sesekali ia bisa selesaikan di rumah, itupun dalam kondisi terpaksa. Jadilah ia guru proporsional tapi prefesional.
Termasuk guru yang tidak proporsional dalam menjalankan profesinya adalah mengajar melebihi jam ideal mengajar yaitu 24 – 28 jam perminggu dengan jumlah kelas melebihi 6 kelas. Terlalu banyak jam mengajar berakibat dalam mengevaluasi peserta didik akan banyak hambatan. Tidak hanya itu, pengamatan siswa per siswa akan menjadi lemah, lantaran banyak siswa yang ia harus hadapi. Demikian pula dalam administrasi ataupun dalam membuat karya ilmiah, penulisan, PTK, akhirnya guru kurang waktu.  Sungguh kurang bijak bila seorang guru UNAS mengajar 12 kelas dengan 2 jam tiap kelasnya, alangkah baiknya dicukupkan 6 kelas dengan 4 jam tiap kelasnya, meskipun sama – sama menempuh 24 jam setiap minggunya.

Ini artinya menjadi guru proporsional sangat diperlukan, mengapa ? Karena di rumah ia punya kewajiban, di masyarakatpun ia punya kewajiban. Tanpa proporsional dalam bekerja akan banyak hal yang harus ia tinggalkan. Silahkan pilih!

Ready to Test More Mature


Suppose another week we want to pick fruit and desirous eat the fruit, then after a week, it is unfortunate when the fruit we eat immature so the quality of taste awful. On the contrary, the fruit is ripe, but in terms of color form is no longer interesting, because there are some members of the fruit look rotten, this means that the fruit is too ripe. Well, this is feared to occur in our students. An example is, at the time of the week - the week before the exam, the students are busy looking for private lessons, studying all night, all books sold done, but unfortunately the results of regular examinations - mediocre, this is like the fruit that is not ripe. Conversely, when the - when the try out, his name is always at the top, but always dominate its value in all lines of subjects, but that the real test, it is precisely the value is not as prominent as expected. The question that arises is, what is wrong? Or where were the mistakes? Of course this caused that students consider what has been gained in the try out is considered mature. So is the case - the case of night-long learning system karbitan like eating fruit, the outcome was not as good as the fruit ripen on the tree.
The phenomenon - the above phenomenon experienced by the father / mother of teachers that administer test subjects or the tutor in tutoring. Then if the incident - the incident would be left over and over just like that? Not much did we when viewed from the students try out early to try out - try out further increased, then when the test is like a "time bomb" exploded outstanding result with value beyond prediction teachers? Yes, of course all of us would like.
The question that arises is how student finalizing the strategy, so that the test results are very encouraging. The exam results here do not mean to get high marks for one class, or one school, but it is enough that the value must be achieved according to ability and more importantly in the above predictions.
There are at least two types of groups of students here, the first is the students who used to be ranked at the top, the second is a student with the ability of the average - average but became mature at saaatnya. Strategies for the first type is: first, determine that not too satisfied with the results dipeoleh. Second, expand teacher SKL (Graduate Competency Standards) with training material - material that is quite challenging and difficult. This is so that students do not get bored of the content and questions that are commonly trained. Third, train students to create questions corresponding lattice - lattice. Fourth, expand students' mastery of the answers in various ways. Example 1 math can be done with a minimum of three ways. Fifth, practice mastery of matter - a matter of reasoning and appropriate Olympics SKL, as this will make students more motivated and do not be surprised when students encounter problems were unexpected.
Type the second group to do with the strategy: first, a summary record and the matter that is considered difficult, then repeated - again. Second, maximize the subjects that could prop up the value of subjects less. For example, if the student is less value in mathematics and was no longer able to add SKL his tenure, he has to maximize the value of other subjects that dominated. Third, make do with the subjects that have been mastered and focus on subjects that are less controlled. For example, if students in the subjects of mathematics are strong enough while in science subjects is still lacking, it must focus on science subjects to learn. Fourth, optimize the peer tutors. Fifth, inculcate the habit to ask the teacher or to friends who are good.
Thus, at least some things that should be a concern for students, teachers, and parents in the hope students who are mature will be more mature in time.

Characters in the strengthening of the family


The family is a miniature of a nation. If a family is good, then the nation will be good also. Conversely, if the family is broken, then the nation will be damaged. According to an American Sosioliog, Robert Bierstedt, the family is a group of small or large last long in nature, consisting of a husband and wife, either with or without children, or a man / woman alone in the company of children.
William Damon, in his book "Greater Expectations" (1995), write sentences - beautiful sentence, that the seeds are sown moral sense at conception, and the roots are established at birth. Each baby into the world is ready to respond socially, and morally, to others. Every child has the capacity to acquire moral character. needed emotional response systems, starters cognitive awareness, and personal disposition that is there from the beginning. Although, unfortunately, not every child grow up to be responsible and caring, the potential for change is at the origin of each member of the family members.
No human society where some form of the family does not appear. Malinowski, Polish anthropologist, said the family is a peculiarity of a group consisting of mother, father and their descendants are found in all societies, savage, barbaric and uncivilized. Irrepressible sexual needs, the drive for reproduction and general economic needs has contributed to the generality of these characteristics.
Families form the emotional environment surrounding the training and education of children. This forms the personality and character mold members. Mothers and fathers play different roles in a child's development. The difference can be roughly summed up as follows; Mother is the protector and educator; dad is a life coach and counselor. Mother acts as a secure base where kids can rely on; they teach their children not to be afraid of the new environment. In addition, as mothers tend to spend more time engaged in low-intensity activities, such as reading and game-play, with their children, the children began to see the mother as a teacher.
The functioning of a family is able to create an integrated member of society and inculcate the culture into a new member of the community. It provides status is considered important as social class and ethnicity for new members. This has implications for social functions by reproducing the replacement of new members, to replace the missing members. Furthermore, the family provides the individual property rights and also capable of assignment and maintenance of order kinship. Family offers material and emotional security and providing care and support for individuals who need such care.
Parents who create a learning environment at home has a positive effect in the form of communication about academic aspects, assignments, and homework. They also understand that family values ​​can be passed from one generation to the next. But the problem, how parents instill values ​​and strength of character in children is often a mystery. Whether it is through discipline, to live the values ​​of the parents themselves, treat the children with respect, or a combination of a lot of how to interact with children.
As children get older, they get more and more generally about the praise. Perhaps they received a trophy for being on the winning team. They may receive congratulatory comments on the value of a good or to participate in the performance or special event. In fact, many children praised for everything, in the mistaken belief it will boost their self-esteem.
Praise be meaningless to children unless they learn from it. Just as they learn from constructive feedback on the academic aspects, assignments, and homework, they learned of a compliment either if it can be communicated.
Parents have a great opportunity to help children identify and build the strength of their character by changing the way they give praise. It is not melazimkan that all public comments removed. Instead, each time more specific praise can be given, the more valuable it is for children. Giving praise more specific, it helps children learn to reinforce positive character. Likewise forms of communication award for whom the praise, not only for the character trait do.
It sounds easy enough. If we all work together, children will get physical, social, emotional, and ethical they met. Unfortunately this is not always the case. many families are broken apart. Some children live in a dangerous neighborhood. Some children come into this world with poor social support and raised by young mothers with little support or lack of emotional support or lack of financial support from the biological father of the child. Other parents have to work several jobs just to provide basic necessities for the family. Likewise, some children stay at home with a lot of financial benefits but do not have the emotional support. All of these children are at risk. Some of these children will find a way out of their illnesses.
As a shortcut, children - children who are socially diseased is maintained by adults who have little concern. These children need more support from the adults in their communities, both religious leaders, leaders of teachers, coaches, parent, community leaders in various social organizations and, perhaps most important is the teacher in student life that forged the relationship solid between the parents with children.