Etika Menulis Bahan Ajar
Belum lepas dari ingatan kita mengenai buku pelajaran
yang didalamnya terkandung bau cerita porno, masyarakat dihangatkan oleh
pemberitaan buku LKS yang didalamnya terkandung foto Miyabi, kemudian bertambah
lagi dengan adanya materi pelajaran berkaitan alat reproduksi yang agak
kelewatan bagi perkembangan anak SD. Tampaknya masyarakat masih tidak mau
menerima kehadiran buku atau LKS yang memuat unsur pornografi yang
dikhawatirkan merusak generasi muda.
Pertanyaan yang diajukan adalah siapakah pihak yang
bertanggungjawab dengan beredarnya buku – buku tersebut di pasaran ? Setidaknya
ada 3 pihak yang berkaitan dalam hal ini, yaitu penulis buku, editor buku, dan
pihak dinas pendidikan. Namun anehnya ketiga pihak saling lempar tanggung jawab,
seakan itu bukan salah mereka.
Seorang penulis buku, dalam hal ini dipersempit menjadi
modul, hendaknya memperhatikan betul terhadap apa – apa yang hendak ditulisnya.
Ia berusaha untuk memberikan yang terbaik berkaitan materi pelajaran yang akan disampaikan dan
diiringi pula dengan moral dan etika. Ia hendaknya memperhatikan bahasa
penyampaian, jangan sampai apa yang disampaikan mengandung penyesatan
moralitas. Gambar – gambar yang disampaikan pun harus diperhatikan pula. Apakah
rugi manakala seorang penulis modul, memperhatikan
hal – hal di atas ? Begitu juga karena ini modul pelajaran, maka jangan sampai
seorang penulis modul hanya mengejar deadline,
sehingga apa yang ditulisnya hanya setoran semalam (kejar tayang), hingga tidak
tahu terhadap apa yang disampaikan.
Seorang penulis modul harus memperhatikan apa yang ditulisnya
mengandung aspek SARA, pornografi, kekerasan dan permusuhan. Terkait masalah
pornografi, maka penjeratan terhadap hal ini berkaitan dalam hal : Pertama,
story (cerita). Jika hendak menyampaikan cerita, maka hindarilah cerita
– cerita yang menjurus pornografi, seperti cerita orang pacaran, persetubuhan,
perselingkuhan, dan lain - lain. Kedua, explanation (penjelasan).
Maksudnya penulis ketika menjelaskan hal – hal yang dapat terindikasi
pornografi, jangan terlalu vulgar, oleh karenanya dalam hal ini harus
mendiskusikan dengan guru – guru yang
lain, dan disesuaikan dengan tingkat perkembangan psikologi siswa. Ketiga,
image (gambar). Penulis jangan sampai menampilkan tokoh artis yang
terjerat masalah pornografi, skandal, atau yang sering berpenampilan vulgar.
Dalam hal ini pula, menyajikan gambar atau kartun, atau bahkan mainan jangan
sampai menimbulkan rangsangan seksual, karena ini akan lebih berbahaya. Keempat,
symbol (simbol) yang dalam hal ini meliputi simbol, slogan, potongan
kalimat, bahasa sindiran jika dirasa mengandung unsur pornografi maka hendaknya
ditinggalkan.
0 comments:
Post a Comment